Tiga tahun lalu, yaitu sekitar pertengahan tahun 2016, majalah Travel Budget, majalah pariwisata Internasional New York, Amerika Serikat menobatkan tiga desa terbersih di dunia, yaitu Desa Giethoorn, Belanda dan Desa Mawlynnong, Negahalaya, India, dan satu lagi dari Indonesia yakni Desa Penglipuran yang terletak di Kabupaten Bangli, Bali. Setelah ditetapkan sebagai desa terbersih di dunia, apakah Desa Penglipuran kini semakin ramai dikunjungi sehingga berkontribusi besar bagi devisa negara melalui Pariwisata? Mengingat penobatannya sebagai desa terbersih tersebut idealnya menjadi jembatan promosi paling efektif? Berikut hasil penelusuran jurnalis klikpena.com ke Desa Penglipuran, Bangli,Bali. Rabu dan Kamis (11-12) September 2019.
DENPASAR-klikpena.com
Tidak seperti suasana lazimnya sebuah obyek wisata, begitu memasuki pintu gerbang utama Desa Penglipuran, tak satu pun dijumpai pedagang asongan yang suka menjual makanan atau minuman ringan berkeliling, seperti kacang-kacangan, snack atau minuman kaleng. Tidak juga ditemukan ibu-ibu paruh baya mengejar-ngejar wisatawan, menjajakan cindra mata di sana. Hanya ada beberapa guide yang berjalan bareng para pengunjung memasuki areal desa wisata seluas 112 hektar tersebut.
Di halaman depan setelah memasuki gapura (pintu gerbang) utama, hanya tampak dua orang wanita setengah tua bersarung dan kebaya khas wanita Bali, memegang serok sampah dan sapu lidi di tangan kanan mereka. Mereka terus berkeliling menyapu halaman. Musuh mereka adalah kulit-kulit kacang, tisue bekas atau sampah lain, bawaan pengunjung yang dibuang begitu saja di halaman. Begitu melihat benda-benda jenis itu, mereka sigap memungut dan membuangnya ke dalam tong sampah yang diletakkan di pojok halaman.
Di ujung halaman, ada jalan setapak dari paving jenis batu paras, menuntun setiap pengunjung memasuki areal perumahan Desa Penglipuran. Jalan setepak itu tidak panjang, hanya sekitar sepuluh meter. Ujung jalan setapak itu disambung langsung dengan jalan besar yang juga terbuat dari bahan paving, yang membelah kampung Penglipuran. Dari situlah setiap pengunjung menikmati pemandangan rumah penduduk yang berbaris berjejer di sisi kiri dan kanan Jalan.

Di sana terdapat 76 rumah penduduk yang berdiri diatas tanah berposisi miring. Bangunan rumah-rumah itu seluruhnya ditata apik berseragam, dengan gerbang rumah khas Bali kuno yang oleh masyarakat setempat dinamakan angkul-angkul, yaitu gapura kecil dari bahan batu cadas dengan atap genteng bambu. Seluruhnya berjumlah 76 bangunan angkul-angkul, yaitu sejumlah rumah penduduk Penglipuran. Angkul-angkul rumah yang satu selalu letaknya berhadapan dengan angkul-angkul rumah lainnya di seberang jalan. Tak satu pun sampah ditemukan berserakan di badan maupun di bahu jalan.
Obyek wisata Desa Penglipuran, dikelola secara mandiri oleh lembaga adat setempat, meski Pemerintah Kabupaten Bangli juga turut berperan dalam pembinaan dan pengembangan obyek wisata. Pengelolaannya dijalankan dengan model sharing profit dimana seluruh pendapatan obyek wisata diberikan kepada Pemerintah sebesar 60 persen dan 40 persen lagi diberikan kepada pihak Desa. Model pengelolaan seperti ini tidak dipermasalahkan oleh pihak Pemerintah Desa, namun mereka menginginkan Pemerintah Kabupaten lebih gencar lagi mempromosikan Penglipuran, agar jumlah kunjunggan wisatawan terus bertumbuh dan pendapatan dari retribusi obyek wisata juga turut meningkat.

Salah seorang petugas Desa Penglipuran, Wayan Jaya menuturkan, predikat yang disandang Desa Penglipuran sebagai salah satu Desa Terbersih di dunia nyaris tidak berefek signifikan terhadap peningkatan jumlah kunjungan obyek wisata sebagaimana yang diharapkan. Rata-rata jumlah kunjungan sehari kata dia, berkisar antara 400 hingga 600 orang. Angka ini sangat fluktuatif. Pada hari raya atau hari libur, biasanya terjadi peningkatan jumlah pengunjung cukup drastis. Namun jumlah kunjungan tersebut masih kalah dengan obyek wisata lain di Kabupaten Bangli yakni obyek wisata Kintamani dan Batur, yang selalu bertengger pada peringkat pertama jumlah kunjungan obyek wisata di Kabupaten Bangli.
Data yang diperoleh dari Dinas Pariwisata Kabupaten Bangli memperlihatkan angka yang cukup jauh berselisih. Jumlah kunjungan Obyek wisata Kintamani Bangli tahun 2018 sebesar 420.300 wisatawan. Sementara di Desa Penglipuran tercatat 247.636 wisatawan atau rata-rata sebanyak 650 wisatawan setiap hari. Jika dibandingkan dengan obyek wisata lain di Bali, seperti Tanah Lot, Garuda Wisnu Kencana atau Bedugul, posisi Desa Penglipuran makin tertinggal jauh. Tanah Lot misalnya bisa mencatat jumlah kunjungan antara 2000 sampai 4000 wisatawan yang berkunjung dalam sehari. “Kami mohon kepada Pemda Bangli untuk gencarkan promosi. Masa desa terbersih di dunia kok tidak bisa dijual? Kan aneh. Kita juga masih dibawah Kintamani, padahal sama-sama satu Kabupaten,’ ujar Wayan Jaya.
Tren peningkatan jumlah kunjungan wisata memang cukup terlihat sejak Penglipuran mendapat predikat sebagai desa terbersih di dunia sejak tahhun 2016. Data dari Dinas Pariwisata Kabupaten Bangli memperlihatkan, memang terdapat lonjakan jumlah kunjungan yang cukup spektakuler antara tahun 2015 yaitu sebelum Penglipuran mendapat predikat sebagai desa terbersih di dunia dan tahun 2016 setelah Penglipuran mendapat predikat sebagai desa terbersih di dunia. Tahun 2015 tercatat 49.951 pengunjung. Sementara pada tahun 2016 naik menjadi 123,133 pengunjung. Kemudian terus terjadi peningkatan setiap tahun. Tahun 2017 tercatat 209.267 dan meningkat lagi pada tahun 2018 menjadi 247.636 pengunjung.

‘Kita memang punya anggaran promosi kecil sekali. Tahun 2017 dan 2018 hanya 30 juta rupiah. Tetapi meningkat cukup signifikan pada tahun 2019 yaitu sebesar 130 juta rupiah. Kalau dana promosinya konsisten ditingkatkan dan tidak dipotong-potong untuk biaya lain, kami yakin kunjungan di Penglipuran akan terus meningkat dan lama-lama menjadi obyek wisata peringkat satu di Kabupaten Bangli mengalahkan Kintamani. Tetapi ya sudahlah, ini mimpi besar kami. Entah kapan bisa terwujud,’ kata Kabid Promosi Dinas Pariwisata Kabupaten Bangli, I Wayan Merta.
Dengan peningkatan jumlah kunjungan wisatawan yang terus meningkat tersebut kata Merta, tentu akan berdampak pada jumlah devisa pariwisata Bali yang diterima negara. Memang, peningkatan jumlah kunjungan berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penerimaan dari sektor pariwisata, khususnya Desa Penglipuran. Bayangkan, sebelum dinobatkan sebagai desa terbersih di dunia yaitu tahun 2015, penerimaan retribusi obyek wisata Penglipuran hanya sebesar 1.087.876.000 rupiah. Sementara pada tahun 2016 sebesar 2.263.626.000 rupiah. Demikian pula tahun 2017 sebesar 3.762.111.000, sementara obyek wisata Kintamani pada tahun yang sama meraup 14.511.102.000 rupiah. Sedangkan tahun 2018, Penglipuran hanya mendapat 4.480.463.000 rupiah dari retribusi obyek wisata sementara Kintamani meraup pemasukan 15.232.018.000 pada tahun yang sama.
Baik Wayan Jaya maupun Wayan Merta sepakat bahwa promosilah yang diharapkan mempu mengubah situasi kesenjangan pemasukan tersebut. Mereka sependapat, jika promosi digenjot serius, maka Penglipuran yang selalu nyaman tertidur lelap sambil membawa kemasyhuran namanya sebagai Desa Terbersih di Dunia ke alam mimpi, akan bangkit menjadi sosok ‘raksasa’ obyek wisata di Kabupaten Bangli. ‘Kuncinya promosi, promosi dan promosi,’ pungkas Wayan Jaya. (Emanuel Dewata Oja)
Komen via Facebook